Ekonomi Islam Halalan-Thayyiban: Menuju Keuangan Berkelanjutan yang Beretika

February 26, 2025

Written by: putera

Ekonomi Islam telah lama dikenal dengan prinsip-prinsip syariahnya, seperti larangan riba (bunga) dan spekulasi (maysir), serta penekanan pada keadilan sosial. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, konsep ekonomi Islam telah berkembang melampaui batasan halal (diperbolehkan) dan haram (dilarang), menuju

pendekatan yang lebih holistik dan berkelanjutan.

Konsep tersebut dikenal sebagai Halalan-Thayyiban, yang tidak hanya memastikan bahwa suatu produk atau layanan halal, tetapi juga thayyib, yaitu murni, baik, dan memberikan manfaat bagi individu, masyarakat, dan lingkungan.

Dalam konteks perubahan iklim dan krisis lingkungan yang semakin mengkhawatirkan, ekonomi Islam Halalan-Thayyiban menawarkan solusi yang selaras dengan prinsip keberlanjutan.

Dalam Sustainable Islamic Finance Summit yang diselenggarakan di Jakarta pada 13 Februari 2025, berbagai ahli menegaskan potensi besar keuangan Islam dalam mendukung proyek-proyek berkelanjutan. Artikel ini membahas bagaimana konsep Halalan-Thayyiban dapat menjadi landasan untuk membangun sistem ekonomi yang berkelanjutan, serta tantangan dan peluang yang dihadapi dalam implementasinya.

Potensi Keuangan Islam dalam Mendukung Keberlanjutan

Menurut Tariq Al Olaimy, ahli keuangan Islam dan penasihat Ummah for Earth, pasar keuangan Islam diprediksi akan melampaui $8 triliun pada 2030, dengan alokasi 5% dari aset ini akan bernilai $400 miliar yang tersedia untuk pendanaan iklim.

Salah satu instrumen keuangan Islam yang telah menunjukkan potensi besar adalah sukuk berkelanjutan (green sukuk).

Pada paruh pertama tahun 2024, pasar sukuk ESG (Environmental, Social, and Governance) telah mencapai $9,9 miliar, dengan sukuk berkelanjutan mencakup 63% dari total penerbitan.

Contoh nyata dari dampak positif ini dapat dilihat pada proyek Saudi Electricity Company dan Green Sukuk Indonesia, yang telah berkontribusi pada pengurangan emisi karbon.

Konsep Halalan-Thayyiban dalam Keuangan Syariah Berkelanjutan

Dr. Hayu Prabowo, Ketua Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam Majelis Ulama Indonesia, menjelaskan bahwa ekonomi dan keuangan syariah berkelanjutan tidak hanya berfokus pada keuntungan finansial yang halal, tetapi juga memberikan manfaat sosial dan lingkungan yang positif (thayyiban). Konsep tersebut sejalan dengan prinsip Islam rahmatan lil alamin (rahmat bagi seluruh alam).

Keuangan syariah berkelanjutan menawarkan solusi untuk membangun sistem ekonomi yang berkelanjutan dengan memadukan nilai-nilai Islam dan keberlanjutan lingkungan. Realisasinya meliputi pengembangan supply side (inovasi produk dan layanan keuangan berkelanjutan) dan demand side (peningkatan permintaan pasar terhadap produk keuangan berkelanjutan), serta integrasi prinsip ekonomi hijau, ekonomi sirkular, dan bioekonomi untuk mencapai keseimbangan ekonomi, sosial, dan lingkungan.

Regulasi dan Kebijakan untuk Keuangan Syariah Berkelanjutan

Dr. Deden Hendarsyah dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) membahas kerangka regulasi dan kebijakan untuk keuangan syariah berkelanjutan di Indonesia. OJK telah mengeluarkan beberapa regulasi penting, seperti POJK Nomor 51/2017 tentang Keuangan Berkelanjutan dan POJK Nomor 18/2023 tentang Sukuk Berkelanjutan.

Selain itu, OJK juga mengembangkan  Taksonomi Hijau Indonesia dan panduan manajemen risiko iklim (CRMS).

Perbankan syariah didorong untuk meningkatkan dampak sosial-ekonomi melalui instrumen ZISWAF (Zakat, Infaq, Shadaqah, dan Wakaf) serta mendukung pembiayaan sektor berkelanjutan, yang saat ini mencapai 14% dari total pembiayaan.

Inisiatif Bank Indonesia dalam Mendukung Keuangan Hijau

Dr. Rifki Ismal, Direktur Departemen Ekonomi dan Keuangan Syariah Bank Indonesia (BI), menjelaskan bahwa BI telah mengembangkan kebijakan ekonomi dan keuangan syariah yang mendukung keuangan hijau.

Inisiatif ini dimulai sejak tahun 2010, termasuk green banking, green lending, dan green bonds.

BI juga menerbitkan Sukuk Inklusif (SukBI) dan memberikan insentif makroprudensial untuk pembiayaan hijau. Program strategis BI mencakup penguatan ekosistem halal, literasi keuangan syariah, dan pengembangan ekonomi berkelanjutan.

Tantangan dan Strategi ke Depan

Meskipun potensi keuangan syariah berkelanjutan sangat besar, tantangan utama masih ada. Dr. Siti Ma’rifah, Ketua Dewan Eksekutif Harian Dewan Syariah Nasional MUI, menekankan pentingnya membangun landasan syariah yang kokoh untuk keuangan berkelanjutan.

Tantangan termasuk mempertahankan keberlanjutan di masa depan, meningkatkan literasi keuangan syariah, dan mengatasi keterbatasan regulasi serta infrastruktur.

 

Dr. Risna Triandhari dari PEBS FEB UI menambahkan, strategi yang diperlukan mencakup penguatan regulasi, insentif, inovasi, serta peningkatan kolaborasi dan literasi keuangan berkelanjutan.

Ekonomi Islam Halalan-Thayyiban menawarkan pendekatan yang holistik dan beretika untuk mencapai keberlanjutan.

 

Dengan memadukan prinsip-prinsip Islam dan nilai-nilai keberlanjutan, keuangan syariah berkelanjutan dapat menjadi alat yang efektif untuk mengatasi tantangan global seperti perubahan iklim, ketimpangan sosial, dan kerusakan lingkungan.

Namun, untuk mewujudkan potensi ini, diperlukan kolaborasi antara pemerintah, lembaga keuangan, ulama, dan masyarakat sipil.

Regulasi yang kuat, inovasi produk keuangan, dan peningkatan literasi keuangan syariah adalah kunci untuk memastikan bahwa ekonomi Islam Halalan-Thayyiban dapat berkontribusi secara signifikan dalam membangun masa depan yang lebih berkelanjutan dan adil.

Archives

Share this Article

Go to Top